Langsung ke konten utama

BUSWAY: Mencari Musuh Besar Kemacetan Jakarta

Busway semakin bikin orang Jakarta gerah (bisa karena AC mobilnya mati, naik bis non-AC atau gerah kepanasan di atas motor). Busway mungkin bukan solusi ideal dalam mengurai kemacetan kota. Tapi sebelum bicara solusi lainnya, ada baiknya ditemukan dulu musuh atau faktor utama kemacetan. Kalau sekarang banyak orang bilang mobil pribadi. Karena pemiliknya orang kaya yang gak mau hidup susah (apalagi susah di jalan), maka solusinya adalah angkutan umum yang nyaman (ber-AC, gitu) dan cepat (jalur eksklusif).

Tapi saya bilang, faktor utamanya justru sepeda motor. Jakarta adalah ibukota negara berkembang. Artinya, sebanyak-banyaknya orang kaya di sini, masih lebih banyak orang yang pengen kaya, belum kaya dan kayanya kaya (baca: rata-rata miskin semua). Motor harganya rata-rata cuma Rp. 10 juta. Bisa dicicil lagi. Bentuknya kecil bikin gesit, mesinnya mungil bikin irit. Jadi semua yang dibutuhin oleh mayoritas orang Jakarta ada di motor. Satu kantor ada 60 karyawan, paling yang bermobil cuma 10%-nya. Sisanya pakai motor, dan masih ada yang terpaksa naik angkot karena belum waktunya kredit motor.

Lihat saja bagaimana ‘industri ojek’ begitu menggurita dan nempel di setiap ujung jalan. Persaingannya sangat ketat karena banyak orang yang kehilangan pekerjaan mengadu nasib menjadi tukang ojek (modalnya cuma KTP, Kartu Keluarga dan uang Rp. 500 ribu untuk uang muka cicilan motor). Kalau sempat nongkrong di pintu keluar tol Bekasi Timur, akan ada atraksi menarik yang ditampilkan oleh tukang ojek di sana. Mereka akan menempel setiap angkutan kota yang sedang melintas menuju halte. Jadi belum sempat penumpang angkot turun sudah diajak naik ojek.

Memang sih sekarang belum ada pengusaha yang tertarik terjun di bisnis ini. Tapi satu saat nanti, motor dengan warna khusus berlabel “Taxi Motor” bukan mustahil akan berseliweran di seantera Jakarta.

Nah, saat motor sudah menguasai semua jalan (termasuk jalan eksklusifnya Transjakarta), tidak ada pilihan lain buat orang kaya (yang pasti lebih pintar membaca situasi) selain membeli motor (tentu yang harganya lebih mahal biar gak sama ama bawahannya) dan gantung setir. Kalau begini kejadiannya nanti, solusi apakah yang layak untuk didiskusikan?
Mudah-mudahan Pemda DKI tidak putus asa dengan mengalihkan busway menjadi motorway dan menghapus semua angkutan kota dari jalanan. (atau mungkin ini malah jadi solusi jitu?)

Komentar

ahmad junaidi mengatakan…
Emang mas motor udah bikin ngeri. Setiap jalan pakai mobil, saya selalu deg-degan ama motor. takut disenggol dan ditabrak. lagi pula sekarang banyak kejahatan yang pelakunya pakai motor. larinya bisa lebih cepet. mana ada penjahat beroperasi pakai mobil. paling-paling ketangkep karena kejebak macet...

Pemerintah memang harus mulai mikirin cara mengatasi pertumbuhan motor ini. kalau tidak, bisa-bisa motor merajai ibukota. di bandung aja udah kejadian kayak gitu. geng motor di mana-mana dan bikin resah warga. mudah-mudahan di jakarta tidak kejadian....

Postingan populer dari blog ini

Logika Boros Kartu Pemilih

Menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa bulan lampau, saya—dan warga Jakarta lainnya—menerima kartu pemilih dari KPUD DKI Jakarta. Waktu menerima kartu kecil warna biru itu, saya bergumam dalam hati, “Orang boros mana yang bersusah-payah menciptakan kartu kecil seperti ini.” Faktanya, kartu pemilih hanya digunakan sekali dalam lima tahun. Karena tidak lagi berguna, saya pastikan setelah membawanya ke tempat pencoblosan, kartu ini akan hilang entah ke mana dalam rentang waktu lima tahun ke depan. Siapa yang memperdulikan kartu pemilih? Toh saat pemilu berikutnya digelar, panitia pemilu akan kembali mendata, mencetak lalu membagikan kartu pemilih baru yang (lagi-lagi) hanya dipakai untuk sekali mencoblos. What a stupid idea! Sebenarnya banyak orang yang mencemooh kehadiran kartu pemilih. Tidak hanya saya, tapi mungkin juga anggota Dewan, pegawai negeri (baik yang terlibat pemilu atau tidak), ulama, pedagang sayur dan masih banyak lagi. Tapi hanya Wakil Presiden yang ber

Jadi PNS Lewat ‘Jalur Pintas’

Syahdan di sebuah rumah di sudut Jakarta , seorang pria terlihat cemas menanti kedatangan putranya. “Sudahlah pak. Kalo dibilang lulus, ya pasti lulus. Masak sudah bayar puluhan juta tidak bisa tembus juga,” sang istri mencoba menenangkan suaminya yang sedari tadi mondar-mandir di teras rumah. “Mudah-mudahan sih begitu, bu. Tapi kalau belum dapat kabar pastinya, aku kok belum bisa tenang ya,” pensiunan pegawai negeri ini masih saja gelisah. Kisah di atas hanya fiksi belaka, tapi terinspirasi dari fakta yang saat ini sedang berlangsung di masyarakat. Saat hampir semua departemen pemerintahan membuka lowongan penerimaan pegawai negeri baru, banyak kepala keluarga yang sibuk mencari uang dalam jumlah besar—hingga mencapai Rp. 50 juta! Uang sebesar itu akan dijadikan ‘modal kerja’ untuk anak tercinta. “Ya, namanya juga usaha. Di mana-mana pasti butuh modal.” Begitu ungkapan yang keluar dari mulut para orang tua. Yang dimaksud ‘modal’ adalah ‘uang pelicin’ atau ‘uang tanda terima k