Langsung ke konten utama

Jadi PNS Lewat ‘Jalur Pintas’

Syahdan di sebuah rumah di sudut Jakarta, seorang pria terlihat cemas menanti kedatangan putranya.
“Sudahlah pak. Kalo dibilang lulus, ya pasti lulus. Masak sudah bayar puluhan juta tidak bisa tembus juga,” sang istri mencoba menenangkan suaminya yang sedari tadi mondar-mandir di teras rumah.
“Mudah-mudahan sih begitu, bu. Tapi kalau belum dapat kabar pastinya, aku kok belum bisa tenang ya,” pensiunan pegawai negeri ini masih saja gelisah.
Kisah di atas hanya fiksi belaka, tapi terinspirasi dari fakta yang saat ini sedang berlangsung di masyarakat. Saat hampir semua departemen pemerintahan membuka lowongan penerimaan pegawai negeri baru, banyak kepala keluarga yang sibuk mencari uang dalam jumlah besar—hingga mencapai Rp. 50 juta!
Uang sebesar itu akan dijadikan ‘modal kerja’ untuk anak tercinta. “Ya, namanya juga usaha. Di mana-mana pasti butuh modal.” Begitu ungkapan yang keluar dari mulut para orang tua. Yang dimaksud ‘modal’ adalah ‘uang pelicin’ atau ‘uang tanda terima kasih’ untuk memuluskan anaknya menjadi pegawai negeri.
Sebagian orang bilang ironis, tapi sebagian lagi mengganggap itu wajar-wajar saja—di tengah sulitnya mencari kerja dan banyaknya pengangguran sarjana.
Saat bekerja sebagai wartawan untuk sebuah harian nasional, saya kerap menyoroti kasus ini. Beberapa orang peserta seleksi CPNS Pemda Bekasi berhasil saya wawancarai saat sedang mengajukan aplikasi. Tidak mudah mengorek informasi adanya mafia percaloan penerimaan pegawai negeri, meskipun ada juga yang mau membeberkannya.
Praktek percaloan biasanya terjadi atas dasar kenal sama kenal. Seorang calo—bisa berasal dari lingkungan departemen tertentu atau bukan PNS sama sekali—tidak mungkin mempertaruhkan nasibnya dengan menawarkan ‘jalur ekspress’ ini kepada orang yang baru dikenal. Bisa-bisa orang ditawari malah melaporkannya ke Bawasda atau langsung ke KPK. Kalaupun ada, kemungkinan besar orang tersebut adalah penipu yang mengiming-imingi korban dengan kursi pegawai.
Kasus ini sangat lazim terjadi di setiap Pemda dan departemen, juga kepolisian dan militer. Teman saya sesama wartawan pernah berpura-pura menjadi peserta seleksi CPNS saat seseorang menawarkannya jasa ‘jalan pintas’ itu. Tapi saat ditindaklanjuti, yang bersangkutan raib entah ke mana. Saya pun mengenal beberapa orang yang sedang mencoba peruntungan menjadi CPNS dengan mengeluarkan uang puluhan juta rupiah.
Terus-terang, masalah percaloan ini sangat sulit dideteksi sumbernya. Orang tua maupun peserta yang sedang menggunakan jasa percaloan ini tentu sungkan bercerita apa adanya. Mereka akan malu bila ada yang tahu bahwa kesuksesannya mendapatkan titel PNS bukan murni hasil seleksi tapi karena ‘membeli lowongan’.
Uang jasa yang diminta biasanya di atas Rp. 10 hingga 40 juta. Setelah deal harga, si calo bukan tidak mungkin meminta tambahan uang, biasanya saat mendekati waktu seleksi atau pengumuman penerimaan. Setelah terjadi kesepakatan harga, si klien akan diminta untuk memasukkan lamaran dan mengikuti tes seleksi bersama peserta lainnya—sebagai formalitas. Polanya persis seperti pembuatan SIM dengan calo di mana pemohon SIM tetap mengikuti ujian tulis dengan satu pesan dari si calo, “Isinya asal-asalan saja. Cuma formalitas kok.”
Sebagai jaminan bahwa tidak ada delik penipuan di balik kesepakatan tersebut, separuh pembayaran dilakukan di muka dan sisanya baru dibayar setelah SK penerimaan pegawai negeri keluar. Kalau SK tidak keluar, garansi uang kembali. Tapi saya ragu apakah uang bisa kembali dan apakah si calo berkenan menunggu sisa pembayaran selama itu, karena pelatihan CPNS sendiri berlangsung satu tahun sebelum akhirnya dikeluarkan SK pengangkatan PNS.
Dan perlu dicatat, tidak semua calo berhasil menggolkan kliennya. Pasalnya, jumlah lowongan yang dibuka amat sangat terbatas. Satu lowongan dengan kriteria tertentu hanya berisi jatah satu pegawai. Dalam konteks ini, seorang calo harus gesit layaknya agent yang memfasilitasi kepentingan client. Dia harus bersaing dengan calo-calo lainnya dengan berbagai cara, antara lain dengan memberikan sebanyak-banyaknya uang pelicin kepada ‘decision maker’. Faktor kedekatan juga menentukan gol tidaknya klien yang ditangani.
Jadi kalau ada yang tidak berhasil, bukan berarti si agent eh calo tidak komitmen terhadap tugasnya. Dan kalau pun berhasil, belum tentu juga itu karena jerih payah calo yang sudah dibayar puluhan juta. Bisa jadi peserta seleksi benar-benar qualified dan lolos di semua tahapan seleksi. Nah loh!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUSWAY: Mencari Musuh Besar Kemacetan Jakarta

Busway semakin bikin orang Jakarta gerah (bisa karena AC mobilnya mati, naik bis non-AC atau gerah kepanasan di atas motor). Busway mungkin bukan solusi ideal dalam mengurai kemacetan kota. Tapi sebelum bicara solusi lainnya, ada baiknya ditemukan dulu musuh atau faktor utama kemacetan. Kalau sekarang banyak orang bilang mobil pribadi. Karena pemiliknya orang kaya yang gak mau hidup susah (apalagi susah di jalan), maka solusinya adalah angkutan umum yang nyaman (ber-AC, gitu) dan cepat (jalur eksklusif). Tapi saya bilang, faktor utamanya justru sepeda motor. Jakarta adalah ibukota negara berkembang. Artinya, sebanyak-banyaknya orang kaya di sini, masih lebih banyak orang yang pengen kaya, belum kaya dan kayanya kaya (baca: rata-rata miskin semua). Motor harganya rata-rata cuma Rp. 10 juta. Bisa dicicil lagi. Bentuknya kecil bikin gesit, mesinnya mungil bikin irit. Jadi semua yang dibutuhin oleh mayoritas orang Jakarta ada di motor. Satu kantor ada 60 karyawan, paling yang bermobil cuma

Logika Boros Kartu Pemilih

Menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa bulan lampau, saya—dan warga Jakarta lainnya—menerima kartu pemilih dari KPUD DKI Jakarta. Waktu menerima kartu kecil warna biru itu, saya bergumam dalam hati, “Orang boros mana yang bersusah-payah menciptakan kartu kecil seperti ini.” Faktanya, kartu pemilih hanya digunakan sekali dalam lima tahun. Karena tidak lagi berguna, saya pastikan setelah membawanya ke tempat pencoblosan, kartu ini akan hilang entah ke mana dalam rentang waktu lima tahun ke depan. Siapa yang memperdulikan kartu pemilih? Toh saat pemilu berikutnya digelar, panitia pemilu akan kembali mendata, mencetak lalu membagikan kartu pemilih baru yang (lagi-lagi) hanya dipakai untuk sekali mencoblos. What a stupid idea! Sebenarnya banyak orang yang mencemooh kehadiran kartu pemilih. Tidak hanya saya, tapi mungkin juga anggota Dewan, pegawai negeri (baik yang terlibat pemilu atau tidak), ulama, pedagang sayur dan masih banyak lagi. Tapi hanya Wakil Presiden yang ber