Langsung ke konten utama

Mencermati Titik Lemah Operasional Busway

Pembangunan jalur busway tahap ketiga yang melintasi kawasan Jakarta Selatan, Jakarta Barat hingga Jakarta Utara terus mendapat sorotan. Media massa secara serempak mengangkat tema kemacetan ibukota yang semakin meluas dan bertambah parah. Pembangunan jalur baru ini juga diwarnai aksi penolakan warga Pondok Indah yang resmi menggugat Pemda DKI lewat jalur hukum. Juga ada rencana mengadukan dugaan kasus korupsi proyek busway ke KPK.
Busway yang direncanakan beroperasi di 15 koridor ini memang layak mendapat perhatian semua pihak. Pasalnya, hingga saat ini belum ada data resmi yang menunjukkan tingkat efektifitas busway dalam mengatasi kemacetan kota. Ya, baik Pemda DKI maupun konsorsium Transjakarta (pelaksana proyek busway) belum pernah merilis hasil evaluasi terhadap tujuh koridor yang sudah beroperasi sejak tiga tahun lalu. Hal inilah yang kemudian memperkuat pesimisme dan ketidakpercayaan masyakarat terhadap proyek busway.
Padahal, sejatinya pembangunan jalur busway secara bertahap antara lain dimaksudkan agar Pemda DKI dapat melakukan evaluasi bertahap terhadap operasional busway. Belum lagi soal ketersediaan armada Transjakarta yang ternyata masih jauh dari cukup. Bila evaluasi dimaksud tidak dilaksanakan secara menyeluruh, keberhasilan busway sudah layak untuk diragukan—tanpa harus menunggu koridor ke-15 beroperasi.

Logika Kemacetan

Logika dasar yang digunakan masyarakat dalam menilai proyek busway adalah, proyek busway telah mengurangi lajur jalan dan, pada saat bersamaan, menambah jumlah kendaraan (bis Transjakarta) di jalan. Kebijakan semacam ini tentu bertolak belakang dengan apa yang semestinya dilakukan untuk mengatasi kemacetan: menambah ruas jalan dan mengurangi volume kendaraan di jalan.
Pemda DKI bersikukuh konsep busway merupakan pilihan paling masuk akal yang bisa dijalankan. Target utamanya adalah ‘memaksa’ pengguna mobil pribadi (yang selama ini dicap sebagai penyebab utama kemacetan) beralih ke angkutan umum. Dua faktor yang dijadikan titik tekan dalam proyek ini adalah memberikan sarana transportasi umum yang nyaman dan cepat.
Tapi faktanya, setiap kali pihak konsorsium membangun koridor baru, warga Jakarta selalu dihadapkan pada kemacetan yang bertambah parah dan arus lalu-lintas yang semakin semrawut. Inilah yang memicu munculnya protes dan pemberitaan miring seputar proyek busway di hampir seluruh media.
Bila dicerna lebih rinci, protes yang muncul merupakan pengulangan (repitition) atas protes yang sebelumnya sempat mengemuka. Hal ini menimbulkan kesan pelaksana busway kurang peka terhadap aspirasi masyarakat. Sedikitnya terdapat enam kelemahan yang membayang-bayangi pelaksanaan proyek busway dan menjadi topik pembicaraan di kalangan pengamat, praktisi dan masyarakat umum. Poin-poin kelemahan tersebut adalah:
1. Ketersediaan armada. Hingga saat ini konsorsium busway belum bisa memenuhi kuota jumlah armada yang ditetapkan oleh pemerintah untuk setiap koridor. Akibatnya, pengguna bis Transjakarta masih harus mengorbankan banyak waktu hanya untuk menunggu kedatangan bis. Faktor kenyamanan pun sirna lantaran bis penuh sesak oleh penumpang alias overloaded. Konsorsium terkesan terus tancap gas membangun koridor-koridor baru tanpa memprioritaskan penyediaan armada. Belum lagi soal ketersediaan bahan bakar (gas) dan perawatan armada yang kerap dilaporkan sering mengalami kerusakan.
2. Lalu lintas jalan dari dan menuju halte busway masih semrawut. Meskipun kelak jumlah armada busway sudah mencukupi, kemacetan yang harus ditempuh menuju halte busway menjadi kendala tersendiri. Penyebabnya adalah rendahnya kedisiplinan pengendara angkutan umum dan tidak terkendalinya pertumbuhan sepeda motor di jalan.
3. Jalur busway belum steril dari kendaraan. Jalur khusus yang sedianya dibangun untuk bis Transjakarta ini ternyata masih dimasuki (bahkan dijejali) oleh kendaraan lain—tak terkecuali bis kota, bajaj, mobil pribadi dan sepeda motor. Ironisnya, aparat kepolisian tidak jarang menjadikan jalur ini sebagai exit way dalam mengatur lalu-lintas. Kebebasan yang diberikan polisi (diskresi) untuk memasukkan kendaraan ke jalus busway menjadi kontraproduktif dengan konsep busway itu sendiri.
4. Kebijakan harga. Tarif tunggal yang diberlakukan saat ini kelak menjadi bumerang bagi semua pihak. Operator busway dipastikan lebih mengedepankan aspek bisnis (baca: balik modal) karena proyek ini (juga) melibatkan pihak-pihak swasta. Di lain sisi, masyarakat menuntut agar tarif busway tetap terjangkau untuk semua kalangan.
5. Jumlah kendaraan terus tumbuh secara konstan. Meskipun ada busway, penjualan otomotif (mobil pribadi dan sepeda motor) ternyata tetap mengalami kenaikan. Bahkan salah satu produsen mobil semakin ekspansif dalam berbisnis dengan memperluas pabrik perakitan mobil yang belum lama ini diresmikan oleh presiden SBY.
6. Strategi komunikasi tidak optimal. Salah satu kelemahan pelaksana proyek busway adalah minimnya komunikasi dan sosialisasi, khususnya ke komunitas pengguna mobil pribadi sebagai target sasaran utama (main target audience). Tidak ada kreatifitas apalagi terobosan baru yang diterapkan dalam mempromosikan proyek miliaran rupiah ini.
Kelemahan-kelemahan tersebut bisa dikategorikan sebagai poin umum, di luar masalah-masalah khusus dan spesifik yang menjadi kendala pelaksanaan proyek busway.
Bila kelemahan-kelemahan tersebut tidak dianggap penting dan pihak konsorsium lebih terfokus pada pelaksanaan proyek hingga koridor 15, busway niscaya menjadi blunder bagi warga Jakarta. Dia tidak hanya gagal mengurai kemacetan, tapi menjadi sumber kemacetan baru.
Nasib pembangunan Mass Rapit Transportation (MRT) pun akan dipertaruhkan, berhubung proyek ini merupakan langkah awal yang dipilih oleh Pemda DKI dalam rangkaian pembangunan MRT.
Kita berharap Pemda DKI di bawah kepemimpinan Fauzi Bowo-Priyanto berani mengambil langkah-langkah jitu dan strategis dalam membenahi transportasi kota Jakarta. Semoga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUSWAY: Mencari Musuh Besar Kemacetan Jakarta

Busway semakin bikin orang Jakarta gerah (bisa karena AC mobilnya mati, naik bis non-AC atau gerah kepanasan di atas motor). Busway mungkin bukan solusi ideal dalam mengurai kemacetan kota. Tapi sebelum bicara solusi lainnya, ada baiknya ditemukan dulu musuh atau faktor utama kemacetan. Kalau sekarang banyak orang bilang mobil pribadi. Karena pemiliknya orang kaya yang gak mau hidup susah (apalagi susah di jalan), maka solusinya adalah angkutan umum yang nyaman (ber-AC, gitu) dan cepat (jalur eksklusif). Tapi saya bilang, faktor utamanya justru sepeda motor. Jakarta adalah ibukota negara berkembang. Artinya, sebanyak-banyaknya orang kaya di sini, masih lebih banyak orang yang pengen kaya, belum kaya dan kayanya kaya (baca: rata-rata miskin semua). Motor harganya rata-rata cuma Rp. 10 juta. Bisa dicicil lagi. Bentuknya kecil bikin gesit, mesinnya mungil bikin irit. Jadi semua yang dibutuhin oleh mayoritas orang Jakarta ada di motor. Satu kantor ada 60 karyawan, paling yang bermobil cuma

Logika Boros Kartu Pemilih

Menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa bulan lampau, saya—dan warga Jakarta lainnya—menerima kartu pemilih dari KPUD DKI Jakarta. Waktu menerima kartu kecil warna biru itu, saya bergumam dalam hati, “Orang boros mana yang bersusah-payah menciptakan kartu kecil seperti ini.” Faktanya, kartu pemilih hanya digunakan sekali dalam lima tahun. Karena tidak lagi berguna, saya pastikan setelah membawanya ke tempat pencoblosan, kartu ini akan hilang entah ke mana dalam rentang waktu lima tahun ke depan. Siapa yang memperdulikan kartu pemilih? Toh saat pemilu berikutnya digelar, panitia pemilu akan kembali mendata, mencetak lalu membagikan kartu pemilih baru yang (lagi-lagi) hanya dipakai untuk sekali mencoblos. What a stupid idea! Sebenarnya banyak orang yang mencemooh kehadiran kartu pemilih. Tidak hanya saya, tapi mungkin juga anggota Dewan, pegawai negeri (baik yang terlibat pemilu atau tidak), ulama, pedagang sayur dan masih banyak lagi. Tapi hanya Wakil Presiden yang ber

Jadi PNS Lewat ‘Jalur Pintas’

Syahdan di sebuah rumah di sudut Jakarta , seorang pria terlihat cemas menanti kedatangan putranya. “Sudahlah pak. Kalo dibilang lulus, ya pasti lulus. Masak sudah bayar puluhan juta tidak bisa tembus juga,” sang istri mencoba menenangkan suaminya yang sedari tadi mondar-mandir di teras rumah. “Mudah-mudahan sih begitu, bu. Tapi kalau belum dapat kabar pastinya, aku kok belum bisa tenang ya,” pensiunan pegawai negeri ini masih saja gelisah. Kisah di atas hanya fiksi belaka, tapi terinspirasi dari fakta yang saat ini sedang berlangsung di masyarakat. Saat hampir semua departemen pemerintahan membuka lowongan penerimaan pegawai negeri baru, banyak kepala keluarga yang sibuk mencari uang dalam jumlah besar—hingga mencapai Rp. 50 juta! Uang sebesar itu akan dijadikan ‘modal kerja’ untuk anak tercinta. “Ya, namanya juga usaha. Di mana-mana pasti butuh modal.” Begitu ungkapan yang keluar dari mulut para orang tua. Yang dimaksud ‘modal’ adalah ‘uang pelicin’ atau ‘uang tanda terima k