Langsung ke konten utama

Kartu Pemilih, NIK dan Negara yang Boros

Sekali ditiup, terus membumbung tinggi ke langit sampai hilang dari pandangan. Itulah yang terjadi di Indonesia saat satu masalah mendapat sorotan banyak pihak, lalu ‘digoreng’ dengan apik oleh para juru tulis untuk dimuat berhari-hari di media massa dalam banyak seri. Apalagi kalau masalah atau isu atau polemik itu mendapat tanggapan petinggi negara sekelas presiden dan wakilnya. Ceritanya jadi terus bergulir, semakin hangat, panas dan mencekam. Mirip seperti sinetron kejar-tayang kesukaan ibu-ibu, remaja gadis—juga kaum Adam!
Cerita yang sekarang sedang ‘hot’ di pentas politik kita adalah soal kartu pemilih. Pemilu 2009 memang masih lama, tapi bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), waktu dua tahun persiapan tentu tidak bisa diisi dengan berleha-leha. Mereka harus mulai bekerja keras, termasuk menangani pendataan pemilih, salah satu faktor penting suksesnya pemilu.
Idealnya, Depdagri sudah harus menyerahkan data kependudukan ke KPU setahun sebelum pemilu digelar atau April 2008. Data kependudukan ini akan diverifikasi, dan warga yang lolos seleksi akan diberi kartu pemilih sebagai bukti sah pemilih. Menjelang pemilu, KPU di tingkat kecamatan dan kelurahan akan membuat secarik kertas undangan mencoblos. Sebelum masuk ke bilik suara, setiap orang wajib memperlihatkan kartu pemilih dan surat undangan ke petugas di TPS. Setelah itu masih ada tinta untuk menghentikan langkah penjahat pemilu yang ingin mencoblos dua kali di lain TPS.
Sungguh mekanisme yang sangat ketat dan sistematis. Ada KTP, kartu pemilih, surat undangan memilih, dan tinta yang membekas di jari selama tiga hari. Dengan sistem ini, diyakini tidak ada orang yang kehilangan hak pilihnya, tidak ada pemilih ganda dan tidak ada aksi penjahat pemilu yang akan menodai ‘kejujuran’ pemilu.
Tapi apa lacur, kecurangan demi kecurangan tetap terdeteksi. Pemilih ganda semakin melanda; dan penjahat pemilu leluasa beraksi tanpa malu-malu. Lalu apa yang salah dengan kartu pemilih, surat undangan dan perangkat pendukung lainnya tadi?
Nah, saat isu kartu pemilih ini mengemuka pertama kali, pemicunya bukan soal ketidakefektifannya dalam mendata pemilih dan menghilangkan pemilih ganda, tapi soal biaya. Ya, biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat kartu pemilih sangat besar karena melibatkan ratusan juta pemilih yang tahun 2004 lalu sebenarnya sudah memiliki kartu ini.
Lalu muncullah ide untuk menghapus kartu pemilih dan menjadikan Kartu Tanpa Penduduk (KTP) sebagai bukti tunggal keabsahan seorang pemilih. Idenya langsung datang dari wakil presiden Jusuf Kalla. Tapi masalahnya, data kependudukan yang ada di database depdagri belum valid alias masih amburadul.
Karena pendataan penduduk tidak dilakukan secara sistematis, merata dan terkontrol, banyak data penduduk yang diragukan keabsahannya. Contohnya kasus penduduk yang meninggal dunia. Update data atau status kependudukannya tidak bisa dilakukan dalam sekejap. Selain itu, masih banyak penduduk yang belum memiliki akta kelahiran, KTP dan Kartu Keluarga. Belum lagi soal data kepindahan penduduk baik sementara maupun tetap.
Di tataran praktis, sudah menjadi rahasia umum bahwa KTP mudah didapat. Asal ada uang, semua bisa diatur. Tersedia jalur ekspres bagi yang ingin memiliki KTP tapi tidak dilampiri dengan KTP asal kelahiran dan surat pindah alamat. Soal tarif bisa diatur, berkisar antara 200 sampai 300 ribu rupiah.
Maka jangan heran kalau banyak orang Jakarta yang berasal dari daerah memiliki dua KTP. Satu KTP untuk alamat di Jakarta, satu lagi beralamat di kampung halamannya. Dengan iklim semacam ini, orang bule sekalipun bisa saja mendapatkan KTP Indonesia!
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mulai menerapkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dalam kerangka Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) yang akan diberlakukan di seluruh Indonesia. NIK akan berfungsi sebagai identitas tunggal yang terdiri atas kombinasi nomor unik yang hanya dimiliki oleh satu orang dan tidak tergantikan oleh orang lain. Lebih jauh lagi, NIK akan digunakan sebagai tanda pengenal pada pasport, surat izin mengemudi (SIM), NPWP hingga pelayanan perbankan dan surat-surat kepemilikan lainnya.
Sistem SIAK akan menggunakan teknologi informasi terpadu yang memadukan antara pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Semua jaringan informasi di berbagai instansi akan terhubung ke pusat data SIAK secara online dan real time.
Tapi meskipun sudah lama digulirkan, hingga saat ini baru 150 dari 450 lebih kabupaten yang sudah memiliki NIK. Banyak daerah-daerah pelosok yang belum menerapkan konsep NIK. Padahal proyek NIK sudah lama dimulai, yaitu saat pendataan pemilih untuk pemilu 2004 lalu dengan program gabungan bernama Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B). Landasan hukumnya juga sudah lama digelontorkan, yaitu melalui TAP MPR RI NO. 6 tahun 2002 tentang sistem pengenal tunggal dan terpadu.
Banyak orang meragukan kesuksesan Depdagri dalam menerapkan NIK di seluruh penjuru negeri. Tapi bagaimanapun, Depdagri harus bekerja keras menjalankan tugasnya. Kalau perlu, semua pegawai di lingkungan departemen dikerahkan ke daerah-daerah untuk memastikan semuanya berjalan serempak.
Bila ini gagal, lagi-lagi kartu pemilih terpaksa dicetak sejumlah ratusan juta penduduk pemegang KTP. Sungguh negara yang boros!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUSWAY: Mencari Musuh Besar Kemacetan Jakarta

Busway semakin bikin orang Jakarta gerah (bisa karena AC mobilnya mati, naik bis non-AC atau gerah kepanasan di atas motor). Busway mungkin bukan solusi ideal dalam mengurai kemacetan kota. Tapi sebelum bicara solusi lainnya, ada baiknya ditemukan dulu musuh atau faktor utama kemacetan. Kalau sekarang banyak orang bilang mobil pribadi. Karena pemiliknya orang kaya yang gak mau hidup susah (apalagi susah di jalan), maka solusinya adalah angkutan umum yang nyaman (ber-AC, gitu) dan cepat (jalur eksklusif). Tapi saya bilang, faktor utamanya justru sepeda motor. Jakarta adalah ibukota negara berkembang. Artinya, sebanyak-banyaknya orang kaya di sini, masih lebih banyak orang yang pengen kaya, belum kaya dan kayanya kaya (baca: rata-rata miskin semua). Motor harganya rata-rata cuma Rp. 10 juta. Bisa dicicil lagi. Bentuknya kecil bikin gesit, mesinnya mungil bikin irit. Jadi semua yang dibutuhin oleh mayoritas orang Jakarta ada di motor. Satu kantor ada 60 karyawan, paling yang bermobil cuma

Logika Boros Kartu Pemilih

Menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa bulan lampau, saya—dan warga Jakarta lainnya—menerima kartu pemilih dari KPUD DKI Jakarta. Waktu menerima kartu kecil warna biru itu, saya bergumam dalam hati, “Orang boros mana yang bersusah-payah menciptakan kartu kecil seperti ini.” Faktanya, kartu pemilih hanya digunakan sekali dalam lima tahun. Karena tidak lagi berguna, saya pastikan setelah membawanya ke tempat pencoblosan, kartu ini akan hilang entah ke mana dalam rentang waktu lima tahun ke depan. Siapa yang memperdulikan kartu pemilih? Toh saat pemilu berikutnya digelar, panitia pemilu akan kembali mendata, mencetak lalu membagikan kartu pemilih baru yang (lagi-lagi) hanya dipakai untuk sekali mencoblos. What a stupid idea! Sebenarnya banyak orang yang mencemooh kehadiran kartu pemilih. Tidak hanya saya, tapi mungkin juga anggota Dewan, pegawai negeri (baik yang terlibat pemilu atau tidak), ulama, pedagang sayur dan masih banyak lagi. Tapi hanya Wakil Presiden yang ber

Jadi PNS Lewat ‘Jalur Pintas’

Syahdan di sebuah rumah di sudut Jakarta , seorang pria terlihat cemas menanti kedatangan putranya. “Sudahlah pak. Kalo dibilang lulus, ya pasti lulus. Masak sudah bayar puluhan juta tidak bisa tembus juga,” sang istri mencoba menenangkan suaminya yang sedari tadi mondar-mandir di teras rumah. “Mudah-mudahan sih begitu, bu. Tapi kalau belum dapat kabar pastinya, aku kok belum bisa tenang ya,” pensiunan pegawai negeri ini masih saja gelisah. Kisah di atas hanya fiksi belaka, tapi terinspirasi dari fakta yang saat ini sedang berlangsung di masyarakat. Saat hampir semua departemen pemerintahan membuka lowongan penerimaan pegawai negeri baru, banyak kepala keluarga yang sibuk mencari uang dalam jumlah besar—hingga mencapai Rp. 50 juta! Uang sebesar itu akan dijadikan ‘modal kerja’ untuk anak tercinta. “Ya, namanya juga usaha. Di mana-mana pasti butuh modal.” Begitu ungkapan yang keluar dari mulut para orang tua. Yang dimaksud ‘modal’ adalah ‘uang pelicin’ atau ‘uang tanda terima k