Menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa bulan lampau, saya—dan warga Jakarta lainnya—menerima kartu pemilih dari KPUD DKI Jakarta. Waktu menerima kartu kecil warna biru itu, saya bergumam dalam hati, “Orang boros mana yang bersusah-payah menciptakan kartu kecil seperti ini.” Faktanya, kartu pemilih hanya digunakan sekali dalam lima tahun. Karena tidak lagi berguna, saya pastikan setelah membawanya ke tempat pencoblosan, kartu ini akan hilang entah ke mana dalam rentang waktu lima tahun ke depan.
Siapa yang memperdulikan kartu pemilih? Toh saat pemilu berikutnya digelar, panitia pemilu akan kembali mendata, mencetak lalu membagikan kartu pemilih baru yang (lagi-lagi) hanya dipakai untuk sekali mencoblos. What a stupid idea!
Sebenarnya banyak orang yang mencemooh kehadiran kartu pemilih. Tidak hanya saya, tapi mungkin juga anggota Dewan, pegawai negeri (baik yang terlibat pemilu atau tidak), ulama, pedagang sayur dan masih banyak lagi. Tapi hanya Wakil Presiden yang berani menyuarakannya sekaligus mengusulkan penghapusan ‘konsep boros’ ini dari mekanisme pemilu berikutnya. Dan ide ini pun baru mengemuka setelah KPU terpilih mengeluarkan budget pemilu yang nilainya sangat fantastis: Rp. 47,9 triliun!
Pertama-tama perlu dipastikan bahwa kartu pemilih merupakan ide yang sangat boros. Di negara maju, tidak ada istilah kartu pemilih. Semua menggunakan identitas tunggal yang terekam dalam ID Card (KTP). Tidak hanya itu, surat suara juga sudah dianggap perangkat usang. Semua dilakukan online. Tinggal klik di komputer, pilihan langsung tersimpan dan dalam sekejap terkirim ke server panitia pemilu. Tidak ada lagi cerita tender kertas suara yang selalu merangsang ‘birahi’ panitia pemilu dan rekanannya untuk melakukan kolusi untuk korupsi.
Ide dasar lahirnya kartu pemilih bermula dari fakta adanya pendatang dari satu daerah yang menetap di daerah lain (entah untuk urusan kerja, kuliah atau sebab lainnya). Lalu muncul dua kategori pemilih, pemilih tetap dan pemilih sementara, yang harus diverifikasi sebelum pemilu digelar. Di lain pihak, data di KTP dianggap belum valid dan banyak kesalahan—antara lain karena masih dibuat secara manual. Belum lagi soal KTP ganda yang merebak di penjuru nusantara. Untuk itu, dibuatlah kartu pemilih sebagai ‘identitas kedua’ penduduk Indonesia sebagai bukti dia sudah terverifikasi sebagai pemilih yang sah.
Tapi yang mengherankan, logika kartu pemilih tadi tidak hanya berlaku untuk pemilu presiden (tingkat nasional). Semua pemilihan kepala daerah, mulai dari pemilihan gubernur sampai pamilihan walikota/bupati, juga menggunakan sistem kartu pemilih. Padahal di tingkat daerah tidak ada istilah pemilih sementara karena yang berhak memilih hanyalah pemegang KTP daerah setempat. Perlu diingat, sebagian KTP di Indonesia masih menggunakan logo daerah dan ditandatangani oleh Lurah atas nama Camat. Meskipun KTP Nasional dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sudah mulai diterapkan di beberpa daerah, tapi keotentikannya masih bersifat lokal karena KTP Nasional masih ditandatangani oleh Lurah atas nama Camat (bukan Mendagri atas nama Presiden, misalnya).
Kalau masih ada yang heran mengapa kartu pemilih tetap dipertahankan pada pemilu-pemilu berikutnya, ingatlah tradisi ‘menghabiskan anggaran’ yang membumi di hampir semua departemen dan pribadi-pribadi PNS kita.
Rakyat bilang, “Berhematlah agar kita punya tabungan untuk keperluan lainnya.” Pejabat bilang, “Kalau (anggaran yang sudah di-ACC dalam APBN) bisa dihabiskan, mengapa harus dikembalikan (ke kas negara)?”
Rakyat bilang, “Berhematlah agar kita punya tabungan untuk keperluan lainnya.” Pejabat bilang, “Kalau (anggaran yang sudah di-ACC dalam APBN) bisa dihabiskan, mengapa harus dikembalikan (ke kas negara)?”
That’s a stupid idea!
Komentar