Langsung ke konten utama

BUSWAY: Mengatasi Kemacetan dengan “Bisnis Kemacetan”

Pemda Depok belum lama ini memberlakukan sistem baru dalam mengurai kemacetan jalan: Angkot way. Alasannya, penyebab utama kemacetan yang kerap terjadi di pusat kota kecil, mungil, tapi padat penduduk ini adalah terlalu banyaknya angkutan kota yang beroperasi, khususnya di ruas utama kota (Margonda raya dan sekitarnya).

Konsepnya persis seperti yang diterapkan oleh Pemda DKI Jakarta. Bedanya, Angkot Way dibuat sederhana dengan hanya memasang cone pembatas jalur, sedangkan jalur Busway dibuat permanen dengan beton dan pembatas khusus. Secara kasat mata, biaya pembuatan jalus Busway jelas lebih mahal ketimbang Angkot Way.

Maklum, kalau yang satu murni gaweannya Ditlantas Depok, sedangkan Busway yang ditongkrongi oleh bis Transjakarta ditangani oleh sebuah konsorsium angkutan khusus. Motivasi kedua model jalur khusus ini tentu berbeda. Kalau Angkot Way masih murni untuk mengurai kemacetan jalan, sedangkan busway Transjakarta ada embel-embel bisnisnya. Kehadiran Transjakarta tidak ubahnya dengan angkot lain yang ujung-ujungnya bisnis (UUB).

Kalau dilihat dari sisi bisnis, siapa sih yang tidak tertarik berinvestasi di jalur Busway. Meskipun di awal-awal akan banyak pengeluaran ekstra dan minim pendapatan (dengan biaya mencapai Rp 75 miliar), tapi bisnis ini sangat menjanjikan karena didukung penuh oleh pemerintah daerah. Tidak hanya jalur khusus yang disediakan. Semua SDM pemda dikerahkan untuk mensukseskan proyek ini, termasuk aparat kepolisian. Bisnis transportasi kota dengan proteksi penuh dari pemerintah ini sama prospektifnya dengan bisnis jalan tol yang sekarang sudah banyak di-take over oleh swasta.

Jadi, kalau ada yang diuntungkan dari busway ini, yang pertama mendulang labanya adalah perusahaan yang terlibat dalam konsorsium proyek busway. Baru kemudian masyarakat atau commuter Jakarta. Itupun kalau kehadiran pasukan bis Transjakarta yang dibarengi dengan pengurangan ruas jalan raya ini ampuh menanggulangi kemacetan ibukota Indonesia. Kita tunggu saja hasilnya, satu tahun setelah semua rute busway (15 koridor) beroperasi penuh….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUSWAY: Mencari Musuh Besar Kemacetan Jakarta

Busway semakin bikin orang Jakarta gerah (bisa karena AC mobilnya mati, naik bis non-AC atau gerah kepanasan di atas motor). Busway mungkin bukan solusi ideal dalam mengurai kemacetan kota. Tapi sebelum bicara solusi lainnya, ada baiknya ditemukan dulu musuh atau faktor utama kemacetan. Kalau sekarang banyak orang bilang mobil pribadi. Karena pemiliknya orang kaya yang gak mau hidup susah (apalagi susah di jalan), maka solusinya adalah angkutan umum yang nyaman (ber-AC, gitu) dan cepat (jalur eksklusif). Tapi saya bilang, faktor utamanya justru sepeda motor. Jakarta adalah ibukota negara berkembang. Artinya, sebanyak-banyaknya orang kaya di sini, masih lebih banyak orang yang pengen kaya, belum kaya dan kayanya kaya (baca: rata-rata miskin semua). Motor harganya rata-rata cuma Rp. 10 juta. Bisa dicicil lagi. Bentuknya kecil bikin gesit, mesinnya mungil bikin irit. Jadi semua yang dibutuhin oleh mayoritas orang Jakarta ada di motor. Satu kantor ada 60 karyawan, paling yang bermobil cuma

Logika Boros Kartu Pemilih

Menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa bulan lampau, saya—dan warga Jakarta lainnya—menerima kartu pemilih dari KPUD DKI Jakarta. Waktu menerima kartu kecil warna biru itu, saya bergumam dalam hati, “Orang boros mana yang bersusah-payah menciptakan kartu kecil seperti ini.” Faktanya, kartu pemilih hanya digunakan sekali dalam lima tahun. Karena tidak lagi berguna, saya pastikan setelah membawanya ke tempat pencoblosan, kartu ini akan hilang entah ke mana dalam rentang waktu lima tahun ke depan. Siapa yang memperdulikan kartu pemilih? Toh saat pemilu berikutnya digelar, panitia pemilu akan kembali mendata, mencetak lalu membagikan kartu pemilih baru yang (lagi-lagi) hanya dipakai untuk sekali mencoblos. What a stupid idea! Sebenarnya banyak orang yang mencemooh kehadiran kartu pemilih. Tidak hanya saya, tapi mungkin juga anggota Dewan, pegawai negeri (baik yang terlibat pemilu atau tidak), ulama, pedagang sayur dan masih banyak lagi. Tapi hanya Wakil Presiden yang ber

Jadi PNS Lewat ‘Jalur Pintas’

Syahdan di sebuah rumah di sudut Jakarta , seorang pria terlihat cemas menanti kedatangan putranya. “Sudahlah pak. Kalo dibilang lulus, ya pasti lulus. Masak sudah bayar puluhan juta tidak bisa tembus juga,” sang istri mencoba menenangkan suaminya yang sedari tadi mondar-mandir di teras rumah. “Mudah-mudahan sih begitu, bu. Tapi kalau belum dapat kabar pastinya, aku kok belum bisa tenang ya,” pensiunan pegawai negeri ini masih saja gelisah. Kisah di atas hanya fiksi belaka, tapi terinspirasi dari fakta yang saat ini sedang berlangsung di masyarakat. Saat hampir semua departemen pemerintahan membuka lowongan penerimaan pegawai negeri baru, banyak kepala keluarga yang sibuk mencari uang dalam jumlah besar—hingga mencapai Rp. 50 juta! Uang sebesar itu akan dijadikan ‘modal kerja’ untuk anak tercinta. “Ya, namanya juga usaha. Di mana-mana pasti butuh modal.” Begitu ungkapan yang keluar dari mulut para orang tua. Yang dimaksud ‘modal’ adalah ‘uang pelicin’ atau ‘uang tanda terima k