Langsung ke konten utama

Mengapa Google tidak Menghapus Blog "I Hate Indon"?

Judul dan tema blog yang satu ini sangat tegas: “Indon esial: bangsa kuli, PATI & kriminal”. Isinya sarat kebencian terhadap bangsa Indonesia, menggunakan kata-kata yang tidak mengindahkan asas kesopanan dan kesantunan.

Blog yang dibuat oleh orang-tanpa-dentitas (malaysiamaju_indonmundur@yahoo.com ) ini menempatkan orang indon sebagai kelompok paling hina dan menganggap semua orang Indonesia sama hinanya dengan indon—dalam definisi umum orang Malaysia yang selama ini berlaku secara kultural. Blog didedikasikan untuk para indon-hater. Dan parahnya lagi, si pembuat blog sengaja menggunakan potret Soekarno sebagai potret dirinya dan menamakan dirinya “I hate indon”.

Saya tidak ingin mempublikasikan alamat blog dimaksud sehingga orang berbondong-bondong mengunjunginya dan membuat blog ini melegenda lalu menjadikan penulisnya semakin terkenal. Saya juga tidak ingin memberi komentar apapun yang membuatnya terlihat berharga dan patut dikomentari. Setumpuk komentar kemarahan dari pembaca Indonesia tertulis di blog ini, yang kemudian ditimpali dengan santai oleh pemiliknya.

Melalui surat ini, saya ingin menandaskan kepada semua orang bahwa blog ini difasilitasi oleh Google Coorporation dan pihak Google dapat dipastikan mengetahui keberadaan blog tersebut yang diposting pertama kali pada tanggal 26 November 2007. Blog terakhir yang ditulis oleh “I hate indon” diposting pada 6 Desember 2007 dengan judul “Ganyang indon teriak Polandia”.

Satu hal yang saya sesalkan, mengapa Google selaku pemilik dan penanggungjawab fasilitas blogspot tidak memberangus blog-blog sarat sara semacam ini. Bukankah dalam klausul Content Policy ditegaskan bahwa isi blog tidak boleh mengandung pornografi, kekerasan dan kebencian (apalagi kebencian luas terhadap bangsa tertentu)?

Berikut saya kutipkan salah satu klausul anti-kebencian: “HATEFUL CONTENT: Users may not publish material that promotes hate toward groups based on race or ethnic origin, religion, disability, gender, age, veteran status, and sexual orientation/gender identity.”

Melalui surat terbuka ini, saya meminta pihak Google untuk segera memberangus blog ini dan blog lain yang berisi pornografi, kebencian, SARA dan kekerasan.

Semoga surat ini cukup menjadi peringatan keras bagi semua pihak yang berkepentingan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUSWAY: Mencari Musuh Besar Kemacetan Jakarta

Busway semakin bikin orang Jakarta gerah (bisa karena AC mobilnya mati, naik bis non-AC atau gerah kepanasan di atas motor). Busway mungkin bukan solusi ideal dalam mengurai kemacetan kota. Tapi sebelum bicara solusi lainnya, ada baiknya ditemukan dulu musuh atau faktor utama kemacetan. Kalau sekarang banyak orang bilang mobil pribadi. Karena pemiliknya orang kaya yang gak mau hidup susah (apalagi susah di jalan), maka solusinya adalah angkutan umum yang nyaman (ber-AC, gitu) dan cepat (jalur eksklusif). Tapi saya bilang, faktor utamanya justru sepeda motor. Jakarta adalah ibukota negara berkembang. Artinya, sebanyak-banyaknya orang kaya di sini, masih lebih banyak orang yang pengen kaya, belum kaya dan kayanya kaya (baca: rata-rata miskin semua). Motor harganya rata-rata cuma Rp. 10 juta. Bisa dicicil lagi. Bentuknya kecil bikin gesit, mesinnya mungil bikin irit. Jadi semua yang dibutuhin oleh mayoritas orang Jakarta ada di motor. Satu kantor ada 60 karyawan, paling yang bermobil cuma

Logika Boros Kartu Pemilih

Menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa bulan lampau, saya—dan warga Jakarta lainnya—menerima kartu pemilih dari KPUD DKI Jakarta. Waktu menerima kartu kecil warna biru itu, saya bergumam dalam hati, “Orang boros mana yang bersusah-payah menciptakan kartu kecil seperti ini.” Faktanya, kartu pemilih hanya digunakan sekali dalam lima tahun. Karena tidak lagi berguna, saya pastikan setelah membawanya ke tempat pencoblosan, kartu ini akan hilang entah ke mana dalam rentang waktu lima tahun ke depan. Siapa yang memperdulikan kartu pemilih? Toh saat pemilu berikutnya digelar, panitia pemilu akan kembali mendata, mencetak lalu membagikan kartu pemilih baru yang (lagi-lagi) hanya dipakai untuk sekali mencoblos. What a stupid idea! Sebenarnya banyak orang yang mencemooh kehadiran kartu pemilih. Tidak hanya saya, tapi mungkin juga anggota Dewan, pegawai negeri (baik yang terlibat pemilu atau tidak), ulama, pedagang sayur dan masih banyak lagi. Tapi hanya Wakil Presiden yang ber

Jadi PNS Lewat ‘Jalur Pintas’

Syahdan di sebuah rumah di sudut Jakarta , seorang pria terlihat cemas menanti kedatangan putranya. “Sudahlah pak. Kalo dibilang lulus, ya pasti lulus. Masak sudah bayar puluhan juta tidak bisa tembus juga,” sang istri mencoba menenangkan suaminya yang sedari tadi mondar-mandir di teras rumah. “Mudah-mudahan sih begitu, bu. Tapi kalau belum dapat kabar pastinya, aku kok belum bisa tenang ya,” pensiunan pegawai negeri ini masih saja gelisah. Kisah di atas hanya fiksi belaka, tapi terinspirasi dari fakta yang saat ini sedang berlangsung di masyarakat. Saat hampir semua departemen pemerintahan membuka lowongan penerimaan pegawai negeri baru, banyak kepala keluarga yang sibuk mencari uang dalam jumlah besar—hingga mencapai Rp. 50 juta! Uang sebesar itu akan dijadikan ‘modal kerja’ untuk anak tercinta. “Ya, namanya juga usaha. Di mana-mana pasti butuh modal.” Begitu ungkapan yang keluar dari mulut para orang tua. Yang dimaksud ‘modal’ adalah ‘uang pelicin’ atau ‘uang tanda terima k